Pola kehidupan sosial masyarakat Jawa tidak terlepas dari perayaan daur hidup yang kerap bermuatan makna-makna simbolik.
Jodang adalah sebuah peti hantaran bermaterial kayu yang kemudian menjelma sebagai “bentuk” yang mempunyai “makna” tertentu. Pemaknaan jodang bagi simbol resepsi kehidupan, dalam hubungan antara bentuk dan makna tersebut tidak bersifat individual, tetapi dimaknai berdasarkan atas kesepakatan sosial (konvensional) (Hoed, 2011).
Kesepakatan sosial atas fungsi jodang terus berlanjut pada ritus menyambut kelahiran, pernikahan, tradisi sedekah bumi, dan terutama dalam tradisi Grebeg Maulud, sampai dengan kini.
Jodang Koleksi Museum History of Java
Sebuah jodang kayu koleksi Museum History of Java, Sewon, Bantul, tercatat berasal dari abad ke-17, tepatnya era Kerajaan Mataram Islam di Kotagede, Yogyakarta.
Satu-satunya koleksi jodang museum History of Java diletakkan pada zona koleksi Mataram Islam bersama dengan artefak lain dari periode yang sama.
Jodang berupa peti kayu yang terbuka di bagian atas, dan terdapat ujung berlubang untuk memasukkan batang bambu, sebagai alat pemikulnya.
Secara fungsional kayu atap jodang dapat dibuka-tutup untuk menaruh saji-sajian kenduri, ataupun seserahan nikah adat Jawa. Dibutuhkan sejumlah tenaga pria untuk memikul jodang sampai ke tujuan.
Setelah dilakukan pengukuran, diketahui dimensi kotak jodang ini berukuran 65x70x49 cm. Sehingga tergolong tipe jodang berkaki yang cukup berat bilamana dipikul oleh dua orang pria saja.
Pada sisi ragam hias jodang, serangkai tampilan motif daun, serta ciri model konsol joglo, terpatri di puncak jodang yang tampak membentuk atap meninggi.
Apabila dicermati terdapat keragaman ornamen ukir sulur daun, maupun empat buah tiang kaki penopang kotak jodang.
Jika merujuk Aryo Sunaryo (2009:159), sulur akan digunakan untuk menamakan motif hias tetumbuhan yang digubah dengan bentuk dasar lengkung pilin tegar, serta disana terdapat batang-batang menjalar serupa spiral.
Demikian pada tautan maknanya, sulur dedaunan adalah lambang kehidupan yang bertumbuh, lambang kesuburan, dan symbol alam semesta (Rahadian, 2018 : 60). Selain sulur daun, ornamen bunga turut mengisi sisi-sisi warna polos kayu jodang, meski persebaran motif bunga ini tidak penuh dan padat.
Simbol Resepsi Kehidupan
Sejarah Jodang pada Museum History of Java pun dapat ditelusuri melalui catatan sejarah pada sejumlah bentuk jodang terdahulu.
Pada sebuah kartupos kuno di tahun 1920 misalnya, tampak iring-iringan pria berjalan kaki sembari menyunggi tandu bambu yang sudah dihiasi, seperti bentuk rumah-rumahan (Raap, 2022:132).
Tandu dondang, demikian penjelasan Raap, agaknya berisi hasil panen seperti nasi, sayuran, umbi-umbian, dan buah-buahan. Dondang merupakan bentuk tandu terbuka sebelum jodang digunakan secara luas.
Menariknya, melalui foto kartupos tersebut sejarah dondang atau bentuk lain jodang seperti halnya milik Museum History of Java, ditampilkan sebagai tradisi selamatan alam sejak 1920, bahkan jauh sebelumnya. Prosesi daur hidup selalu menyertakan jodang sebagai simbol hantaran, terutama dalam tata pernikahan adat Jawa.
Jodang disiapkan untuk prosesi lamaran dari orang tua pengantin pria kepada calon istri. Pada jaman dahulu jodang berisi makanan harus dipikul oleh dua sampai empat pria dengan berjalan kaki menuju rumah pengantin wanita.
Sedangkan jodang lamaran harus memuat beragam makanan tetapi utamanya berbahan ketan. Seperti halnya jadah, wajik, rengginang, dimana beras ketan (setelah dimasak) akan bersifat lengket, sehingga bermakna sebagai pelekat kedua pengantin dan antar besan agar tetap lengket.
Tradisi Selikuran
Tradisi malam selikuran semula diperkenalkan oleh Wali Songo sebagai metode ajaran agama Islam di penjuru Jawa.
Sebagai tradisi warisan dari Wali Songo, tradisi selikuran di Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta pun selalu menggunakan peti jodang, agar dapat membawa seribu tumpeng dengan cara dipanggul.
Perayaan tradisi malam selikuran adalah sambutan pada malam Lailatul Qadar, yang bertepatan sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, terutama malam tanggal ganjil.
Prosesi selikuran diawali pembukaan gerbang keraton diikuti dengan keluarnya para kerabat dan abdi dalem.
Di belakang rombongan tersebut akan diikuti oleh para abdi dalem yang membawa lampu ting atau lentera. Kemudian, iring-iringan tersebut akan diikuti dengan rombongan yang membawa seribu tumpeng atau tumpeng sewu yang diletakkan di dalam kotak kayu dengan cara dipanggul.
Nasi tumpeng yang diarak biasanya terdiri dari nasi gurih, kedelai hitam, telur puyuh, cabai hijau, rambak dan mentimun. Adapun wadah nasi tumpeng berupa ancak cantoka atau jodang terbuat dari material besi dan kuningan sehingga berbeda dengan jodang kayu milik Museum History of Java.
Simbol Akulturasi Jawa-Cina
Akulturasi, seperti didefinisikan oleh Prof. Stroink (dalam Berry, 1996) adalah sebuah proses dimana individu mengadopsi suatu kebudayaan baru, termasuk juga mengasimilasikan dalam praktek, kebiasaan, serta nilai-nilai. Perarakan kirab tandu dan jodang sejak berabad silam telah membentuk wajah akulturasi Cina dan Jawa hingga kini. Salah satu bentuk akulturasi tersebut adalah perayaan Grebeg Sudiro di Kota Solo.
Sudiro merupakan nama sebuah kampung bernama Kampung Sudiroprajan yang berada di sekitar kawasan Pasar Gede. Dalam pawai Grebeg Sudiro dilakukan Kirab Sedekah Bumi dengan membawa beraneka makanan di dalam jodang.
Sedekah bumi merupakan bentuk rasa syukur para pedagang di Pasar Gede dan masyarakat sekitar. Sedangkan kirab budaya dimaknai sebagai kerukunan etnis Tionghoa dan masyarakat Jawa. Prosesi ini merupakan bentuk rasa syukur para pedagang di Pasar Gede dan masyarakat sekitar, serta tanda kerukunan antara etnis Tionghoa dan Jawa.
Salah satu jodang yang mencirikan akulturasi Jawa-Cina, ditemukan pada salah satu koleksi Gallery Wanataru, Pleret, Bantul, yang dimiliki seorang kolektor bernama Ibu Mursupriyani. Koleksi jodang Gallery Wanataru tersebut bermaterialkan kayu jati yang membentuk gaya rumah tradisional Tionghoa. Ciri utamanya ialah atap berbentuk ekor burung wallet sebagai symbol kemakmuran. Namun pada puncak atap tidak terdapat ornament naga maupun hewan lainnya.
Selain khas pada bentuk atapnya jodang inipun memiliki pintu geser di bagian depan jodang. Dimensi ruang di dalam jodang tampak cukup luas jika diletakkan aneka saji-sajian jajan pasar ataupun tumpeng sebagai bentuk ucapan syukur. Begitupun kue keranjang untuk dibagikan pada masyarakat umum.
Demikian mengapa rumah jodang ini sangat fungsional apabila ditandu bersama sesajian yang bermakna tertentu. Sehingga, berbeda dengan fungsi joli atau tandu pengantin Tionghoa, kita mendapati jodang sebagai tandu hidangan pesta yang menjadi simbol dari resepsi kehidupan.
Daftar Isi :
Berry, J.W., Sam, D.L. 1999 Acculturation and Adaptation. Handbook of cross-cultural psychology: Social behavior and applications volume 3 Boston: Allyn & Bacon
Hoed, B. H. (2011). Semiotik & Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Komunitas Bambu.
Olivier Johannes Raap (2017). Soeka Doeka di Djawa Tempo Doeloe. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia
Rahadian., dkk. (2018), Eksistensi Candi sebagai Karya Agung Arsitektur Indonesia di Asia Tenggara, Kanisius, Yogyakarta
Sunaryo, Aryo. (2011), Ornamen Nusantara: Kajian Khusus tentang Ornamen Indonesia, Dahara Prize, Semarang